Peristiwa Madiun 72 tahun silam
tak akan pupus dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pemberontakan yang
dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 itu merupakan
peristiwa kelam yang telah merenggut banyak nyawa ulama dan tokoh-tokoh agama.
Sejak Peristiwa Madiun 1948 dan
pemberontakan G30 S PKI 1965 menjadi bukti betapa hebatnya ancaman komunisme di
Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Peristiwa Madiun 1948 dilakukan anggota PKI
dan partai-partai kiri lainnya yang tergabung dalam organisasi bernama Front
Demokrasi Rakyat (FDR).
Adapun latar belakang terjadinya
pemberontakan PKI Madiun 1948 menyusul jatuhnya kabinet Amir Syarifuddin pada
masa itu. Penyebab jatuhnya kabinet Amir akibat kegagalannya pada perundingan
Renville yang merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya, 28 Juni
1948 Amir Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Organisasi ini didukung oleh
Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral Organisasi
Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Mereka melancarkan propaganda anti pemerintah,
mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi buruh. Selain itu melakukan
pembunuhan ulama dan pejuang kemerdekaan.
Adapun tujuan mereka adalah ingin
meruntuhkan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan menggantinya dengan negara
komunis. Segala cara pun mereka lakukan demi memuluskan misinya.
Sebelum Peristiwa Madiun, PKI
juga telah melakukan kekacauan di Solo (Surakarta) hingga menewaskan banyak
perwira TNI AD dan tokoh pejuang 1945. Oleh PKI, daerah Surakarta dijadikan
daerah yang kacau (wildwest). Sedangkan Madiun dijadikan PKI sebagai basis
gerilya.
Pada tanggal 18 September 1948,
Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan Soviet di Indonesia. Sejak saat
itu, gerakan PKI ini semakin merajalela hingga menguasai dan menduduki
tempat-tempat penting di Madiun.
Keberhasilan FDR/PKI menguasai
Madiun disusul dengan aksi penjarahan, penangkapan sewenang-wenang terhadap
musuh PKI. Mereka tidak segan-segan menembak, hingga berbagai macam tindakan
fasisme berlangsung sehingga membuat masyarakat Kota Madiun ketakutan.
Pada tahun
1948 itu para pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap dan dibunuh. Orang-orang
berpakaian Warok Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau
membunuh orang-orang yang dianggap musuh PKI. Mayat-mayat pun bergelimpangan di
sepanjang jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang
palu arit. Potret Soekarno diganti potret Moeso.
Liputan wartawan ‘Sin Po’ yang
berada di Madiun, menuliskan detik-detik ketika PKI pamer kekejaman itu dalam
reportase yang diberi judul: 'Kekedjeman kaoem Communist; Golongan Masjoemi
menderita paling heibat; Bangsa Tionghoa "ketjipratan" djoega.'
Tanggal 18 September 1948 pagi
sebelum terbit fajar, sekitar 1.500 orang pasukan FDR/PKI (700 orang di
antaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono) bergerak
ke pusat Kota Madiun.
Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat
pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi perlawanan
singkat di markas TNI, kantor CPM, kantor Polisi. Pasukan Pesindo bergerak
cepat menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar terbit, Madiun
sudah jatuh ke tangan FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan.
Di waktu yang sama, di Kota
Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI bergerak menyerbu Kabupaten, kantor
Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor
Resort Polisi, rumah kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di
Magetan.
Sama dengan penyerangan mendadak
di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan bupati, patih, sekretaris
kabupaten, jaksa, ketua pengadilan, kapolres, komandan Kodim, dan aparat
Kabupaten Magetan, mereka juga menangkap dan membunuh tokoh-tokoh Masyumi dan
PNI di kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa.
Gadis Rasid, seorang pejuang yang
juga wartawan pada tahun 1940-an menulis reportase tentang kebiadaban FDR/PKI
tersebut. Gadis menyaksikan pembantaian massal di Gorang-gareng, Magetan.
Pembunuhan, perampokan dan penangkapan yang dilakukan FDR/PKI itu diberitakan
surat kabar Merdeka 1 November 1948.
Meski tidak sama dengan aksi
serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih pemerintahan,
serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggal 18 September 1948 itu
dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi,
Purwodadi, Kudus, Pati, Blora, Rembang, Cepu.
Sama dengan di Madiun dan
Magetan, aksi serangan FDR/PKI selalu meninggalkan jejak pembantaian massal
terhadap musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa
Tengah pada tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat
pemerintah, tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan
mereka yang dikenal karena kesalehannya kepada Islam: mereka itu ditembak,
dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang.
Masjid dan madrasah dibakar,
bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu madrasahnya
dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang
tua yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak
melawan. Setelah itu, rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.
Tindakan kejam FDR/PKI selama
menjalankan aksi kudeta itu menyulut amarah Presiden Soekarno yang mengecam
tindakan tersebut dalam pidato yang berisi seruan bagi rakyat Indonesia untuk
menentukan nasib sendiri dengan memilih: “Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan
membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia merdeka-atau ikut Soekarno-Hatta, yang
Insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Negara Republik Indonesia ke
Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negara apa pun juga.
Presiden Soekarno menyeru agar
rakyat membantu alat pemerintah untuk memberantas semua pemberontakan dan
mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah. Madiun harus lekas di tangan
kita kembali”.
Sejarah mencatat, bahwa antara
tanggal 18-21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang dilakukan dengan sangat
cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab dalam
tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil
maupun militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh
agama.
Setelah gerakan makar FDR/PKI
berhasil ditumpas TNI dibantu masyarakat, awal Januari tahun 1950 sumur-sumur
‘neraka’ yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban kekejaman mereka
dibongkar oleh pemerintah. Puluhan ribu masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi,
Ponorogo, Trenggalek datang menyaksikan pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’.
Mereka bukan sekadar melihat
peristiwa itu, namun sebagian di antara mereka ingin mencari anggota
keluarganya yang diculik PKI. Diantara sumur-sumur ‘neraka’ yang dibongkar itu,
informasinya diketahui justru berdasar pengakuan orang-orang PKI sendiri.
Dalam proses pembongkaran
sumur-sumur ‘neraka’ itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi pembantaian
di Magetan, yaitu, (1) Sumur ‘neraka’ Desa Dijenan, Kecamatan Ngadirejo,
Kabupaten Magetan; (2) Sumur ‘neraka’ I Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten
Magetan; (3) Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan;
(4) Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan; (5).
Sumur ‘neraka’ Desa Pojok, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan; (6) Sumur
‘neraka’ Desa Batokan, Kecamatan Banjarejo, Kabupaten Magetan; (7) Sumur
‘neraka’ Desa Bogem, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan.
Sementara dua lokasi killing
fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu ruang kantor dan
halaman pabrik gula Gorang-gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di
Magetan.
Fakta kekejaman FDR/PKI tahun
1948 ini disaksikan ribuan warga masyarakat yang menyaksikan langsung
pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’ itu. Setelah diidentifikasi diperoleh
sejumlah nama pejabat pemerintahan maupun TNI, ulama, tokoh Masjoemi, tokoh
PNI, polisi, camat, kepala desa, bahkan guru.
Di sumur tua Desa Soco ditemukan
kurang lebih 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78 orang di antaranya
dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Salah satu di antara korbannya
adalah KH Soelaiman Zuhdi Affandi, pimpinan Ponpes Ath-Tohirin Mojopurno,
Magetan.
Kemudian, Kyai Imam Mursjid
Muttaqin, Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran. Jasadnya ditemukan di
Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Selain Kyai
Imam Mursjid, ulama lain ikut menjadi korban yaitu Kyai Zoebair, Kyai Malik,
Krai Noeroen, Kyai Moch Noor.
Lalu, di sumur tersebut ditemukan
jasad R Ismaiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; R Doerjat (Inspektur Polisi
Magetan), Kasianto, Soebianto, Kholis, Soekir, (keempatnya anggota Polri); dan
masih banyak pejabat dan ulama lainnya.
Di sumur ‘neraka’ I Desa Soco
ditemukan jasad Soehoed (camat Magetan); R Moerti (Kepala Pengadilan Magetan);
Mas Ngabehi Soedibyo (Bupati Magetan). Kemudian ada sekitar 40 mayat tidak
dikenali karena bukan warga Magetan.
Selain itu, di Sumur ‘neraka’
Desa Cigrok, Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan ditemukan jasad KH Imam
Shofwan, pengasuh Pesantren Thoriqussa’ada Rejosari, Madiun. Imam Shofwan
dikubur hidup-hidup di salam sumur tersebut. Ketika dimasukkan ke dalam sumur,
ulama NU ini masih sempat mengumandangkan adzan.
Dua putranya Kyai Zubeir dan Kyai
Bawani juga menjadi korban dan dikubur hidup bersama-sama. Sebanyak 22 jenazah
ditemukan di sumur ini. Dan masih banyak tokoh ulama lainnya yang menjadi
korban keganasan PKI.
Kebiadaban FDR/PKI selama
melakukan aksi makarnya tahun 1948 adalah rekaman peristiwa yang tidak akan
terlupakan. Sumur-sumur tua ‘neraka’ yang tersebar di Magetan dan Madiun adalah
saksinya.
Tak heran jika tindakan keji PKI
berulang kembali pada 1 Oktober 1965 di mana para jenderal TNI AD diculik dan
dibunuh secara sadis. Mayatnya kemudian ditemukan di dalam sumur ‘neraka’
Lubang Buaya di dekat Bandara Halim, Jakarta Timur.
Dengan ditumpasnya pemberontakan
PKI di Madiun dan pemberontakan G30SPKI 1965, maka selamatlah bangsa Indonesia
dari bahaya komunis. Kini, TNI dan ulama adalah pihak yang selalu di barisan
terdepan melawan kebangkitan paham dan gerakan kiri tersebut.
SUMBER:
[1] Sunyoto, Agus dkk. 1990.
Lubang-Lubang Pembantaian: Pemberontakan FDR/PKI 1948 di Madiun. Grafiti Press.
[2] Sunyoto, Agus. 1996. Banser
Berjihad Menumpas PKI. Lembaga Kajian dan Pengembangan, PW GP Ansor Jawa Timur
& Pesulukan Thoriqoh Agung. Tulung Agung.
[3] Islamedia-Media Islam Online.
[4] Dihimpun dari berbagai
sumber.
Komentar
Posting Komentar